Sabtu, 08 Agustus 2015

Ambruknya Keangkuhan Sang Penguasa Tirani.

            Gerakan 30 September 1965/PKI atau G30S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober)  adalah peristiwa pengkhianatan terhadap Bangsa Indonesia terbesar yang pernah terjadi. Peristiwa ini terjadi malam hari tepat saat pergantian dari tanggal 30 September (Kamis) menjadi 1 Oktober (Jumat) 1965 saat tengah malam. peristiwa ini melibatkan anggota PKI dan pasukan Cakrabirawa.

           Berbagai versi tentang peristiwa G30S/PKI seolah menempatkan Suharto sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Pertemuan-pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief sebelum peristiwa ini meletus memperkuat dugaan tersebut. Seperti diketahui Kolonel Latief dan Kolonel Untung adalah mantan anak buah Suharto sewaktu menjadi Pangdam Diponegoro. Sebagai orang yang mengetahui akan terjadinya peristiwa tersebut maka banyak pandangan mengatakan seharusnya Suharto dapat mencegah peristiwa tersebut dan melaporkannya kepada atasannya. Tapi pandangan-pandangan ini terlalu dangkal untuk dipahami. Sebagai perwira tinggi Suharto berada dalam kondisi yang Dilematis. Kepada siapa Suharto harus melaporkan peristiwa yg belum terjadi ? Haruskah Suharto melaporkan tindakan Kolonel Latief & Kolonel Untung kepada Presiden Sukarno yang diketahui telah memberi perintah kepada Kolonel Untung untuk “memberi pelajaran” kepada para perwira yang dianggap tidak Loyal kepada Sukarno ? Atau, haruskah Suharto melaporkan tindakan ini kepada Nasution, Ahmad Yani & S Parman yang menjadi atasannya sementara nama-nama mereka disebutkan menjadi target dari operasi ini ? Sikap Suharto yang diam menunggu dapat dikatakan sudah tepat. Sikap diamnya yang menanti untuk melihat tindakan apa yang akan diterima para perwira tersebut dianggap sudah sesuai secara intuisi Militer.

           Untuk melihat latar belakang yang menjadi cikal bakal peristiwa G30S/PKI mungkin kita harus melihat jauh kebelakang sebelum peristiwa tersebut terjadi. Seperti diketahui, TNI AD dikenal teguh berpegang pada perintah Jenderal Sudirman untuk tetap setia pada Negara & Bangsa Indonesia bukan pada perseorangan. Perintah Jenderal Sudirman agar Militer tidak dicampuri oleh politik sipil benar-benar dijalankan oleh TNI AD, terbukti dengan peristiwa Oktober 1952 dimana Jenderal Nasution mengarahkan moncong meriam kearah istana karena menganggap sipil terlalu mencampuri urusan internal AD. Mari kita melihat tentang penyerahan pasukan untuk menjadi pasukan pengawal Presiden/Cakrabirawa. Dari ke 4 Angkatan yang ada hanya AD yang tidak menyerahkan pasukan elitnya yaitu RPKAD. Angkatan Darat justru menyerahkan pasukan Banteng Raiders yang notabene merupakan pasukan regular yang diberi pendidikan para komando. Angkatan Laut menyerahkan pasukan elitnya KKO sebagai bagian dari Cakrabirawa, Angkatan Udara juga menyerahkan pasukan elitnya PGT dan Kepolisian menyerahkan pasukan elitnya Brimob sebagai bagian dari pasukan Cakrabirawa. Sukarno memang dapat menerima alasan yang diberikan Nasution dan Ahmad Yani yang beralasan RPKAD dibutuhkan untuk operasi-operasi kegiatan separatis yang banyak terjadi dimasa itu, tapi siapa yang tahu isi hati seorang Sukarno yang dikenal tidak ingin diremehkan lawan maupun kawan.

          Mari kita lihat lagi peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara yang menewaskan seorang prajurit TNI AD, Pelda Soedjono yang dilakukan para anggota BTI yang menjadi Underbow PKI. Peristiwa ini mengundang kemarahan Nasution dan Ahmad Yani. Terbukti di hari ulang tahun RPKAD tanggal 15 Juli 1965, dimarkas RPKAD di Cijantung, Ahmad Yani dengan lantang berpidato akan menuntut balas atas kematian prajuritnya di Bandar Betsy dan memerintahkan anggota RPKAD untuk tetap siaga & mempersiapkan diri. Menurut keterangan putri Ahmad Yani, pasca pidato di markas RPKAD, Sukarno pernah membisiki Ahmad Yani untuk menggantikan dirinya bila sewaktu-waktu tiada karena sudah dalam kondisi sakit-sakitan. Hal ini terasa janggal & aneh karena disaat yang sama Sukarno tengah mendekati seorang gadis belia yang bernama Heldy Jaffar yang kemudian dikawininya dibulan Mei 1966. Yang menjadi pertanyaan, apakah betul Sukarno memang sedang sakit keras kala itu ?

          Para perwira TNI AD yang menjadi target & korban dari G30S/PKI adalah mereka yang dengan keras menolak proposal untuk membentuk angkatan ke V yang diusulkan PKI. Beberapa dari perwira ini adalah atasan dari Mayjend Suharto tapi beberapa lagi adalah bawahan beliau karena berpangkat lebih rendah namun berada dibawah Menpangad Ahmad Yani. Harap diketahui bahwa DI Panjaitan & Sutoyo masih berpangkat Brigjen saat peristiwa ini terjadi dan dinaikan pangkatnya setingkat dgn gelar Anumerta menjadi Mayjen Anumerta.

          Pasca peristiwa G30S/PKI keadaan di Indonesia menjadi genting, demo terjadi dimana-mana yang mengerucut menjadi Demo TRITURA yang imotori oleh para Mahasiswa pada tanggal 10 Januari 1966. Untuk mengatasi keadaan agar tidak semakin bertambah kacau, Sukarno menunjuk Mayjen Pranoto sebagai Panglima Pengendali namun terjadi penolakan karena Pranoto terindikasi terlibat dalam organisasi PKI, lalu atas desakan beberapa perwira AD Sukarnopun menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diamanatkan kepada Mayjen Suharto. Berdasarkan Supersemar Suharto melakukan tindakan membubarkan PKI & melarang kegiatan yg berkaitan dengan organisasi tsb. Suharto mulai melakukan koordinasi dengan angkatan yang lain dan mengkordinir AD dengan bekerja sama dengan Jenderal Nasution yang masih menjabat sebagai Menko Pangab.


         



Dalam situasi yang mulai kondusif walau masih dalam suasana berkabung pasca tragedy G30S/PKI, Sukarno mempersunting seorang gadis belia yang usianya 2 tahun lebih muda dari putrinya Megawati, yang bernama Heldy Jaffar dibulan Mei 1966 tepatnya ditanggal 12. Perkawinan ini mengundang reaksi negative dari rakyat Indonesia. Sukarno dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadinya disbanding kepentingan bangsa Indonesia. Sukarno yang penuh percaya diri seolah tidak menggubris protes dari berbagai kalangan kala itu. Mahasiswa & rakyat yang kala itu telah kondusif mulai bereaksi kembali, mereka mulai mengaitkan dengan pidato Sukarno yang mengecilkan arti kematian para perwira yang dibantai di Lubang Buaya, Sukarno mengibaratkan kematian ke 7 perwira “Bagai Riak Kecil ditengah Samudera yang Luas”, lalu mengaitkan lagi dengan pidato Sukarno yang menebar ancaman akan menghabisi orang-orang atau kelompok yang Phobia kepada PKI. Peristiwa perkawinan Sukarno dengan Heldy Jaffar menjadi pertanyaan bagi banyak kalangan tentang kebenaran berita kalau Sukarno memang benar-benar Sakit Keras. Timbul kecurigaan kalau berita tersebut hanyalah pengalihan isu. Akhirnya, keangkuhan Sukarno berakhir didepan Sidang Istimewa MPRS dibulan Juni 1966. Baru kali ini Sukarno dimintai pertanggung jawaban atas kinerjanya selama menjabat sebagai Presiden RI. Dua kali laporan pertanggung jawaban Sukarno yang diberi Judul NAWAKSARA I & II ditolak oleh MPRS yang diketuai oleh Jenderal Nasution. Akhirnya tanggal 20 February 1967 Sukarno diberhentikan sebagai Presiden RI oleh MPRS.